Kamis, 24 September 2009

Sabar


Muhammad A Saefulloh - detikRamadan

Jakarta -“Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS.Ali Imran [3] : 200).

Sabar, secara etimologi berarti menahan dan mencegah (al-habsu wal kaffu). Secara terminologi, sabar adalah menahan diri untuk melakukan keinginan dan meninggalkan larangan Allah SWT, sabar juga berarti sikap tegar dan kukuh dalam menjalankan ajaran Islam ketika muncul dorongan nafsu, ketegaran yang dibangun diatas landasan Al-Quran dan As-sunnah.

Sabar dapat juga berarti puncak sesuatu, orang yang memiliki kesabaran, akan sampai pada puncak kemuliaan. Allah telah memuji orang-orang yang bersabar dan menyebutkan mereka dalam firman-Nya: “Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas.” (QS Az-Zumar: 10).

Rasulullah SAW mengajarkan sifat sabar dengan meninggalkan sifat mengeluh. Dalam hadis qudsi, Allah SWT berfirman: “Apabila Aku hadapkan suatu cobaan kepada seorang hamba dari hamba-Ku pada badannya, atau pada anaknya, atau pada hartanya, lalu ia menghadapinya dengan penuh kesabaran, Aku merasa malu menegakkan timbangan (mizan) maupun membuka catatan amalnya pada hari kiamat.”(HR Hakim).

Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: “Kesabaran adalah salah satu dari perbendaharaan surga”, dan ketika ditanya mengenai keimanan, Nabi bersabda: ”Keimanan itu adalah kesabaran dan kemurahan.”

Ali bin Abi thalib mengatakan: ingatlah, sungguh tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sabar. Karena itulah, Syekh Abu Nashr mengungkapkan bahwa spiritual sabar adalah kedudukan spiritual mulia. Sementara al Junaid menjelaskan bahwa sabar adalah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan. Kedudukan seseorang ditentukan oleh kualitas kesabarannya. Innallaha ma’ashobirin (Sesungguhnya Allah itu dekat amat dekat dengan orang yang sabar). Bahkan, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong.

Ibnu salim menjelaskan bahwa ada tingkatan orang yang sabar, yaitu: pertama mutashabir (orang yang berusaha untuk bersabar), kedua shabir (orang yang sabar), ketiga shabhar (orang yang sangat bersabar). Orang yang sangat bersabar adalah mereka yang kesabarannya demi Allah, karena Allah dan dengan Allah.

Seluruh cobaan yang menimpanya dari segi kewajiban dan hakikat tidak akan melemahkannya, namun ia tetap kuat menghadapinya, sekalipun dari segi bentuk dan rupa akan berubah. Ketidaksabaran timbul ketika kita salah dalam memandang makhluk, mungkin kita memandang makhluk sebagai sumber penyebab segala seuatu.

Padahal, makhluk hanya menjalani kehidupan. Kalau kita hanya memfokuskan kepada makhluk, maka kualitas kesabaran yang kita miliki akan semakin berkurang. Lain halnya jika kita memandang bahwa Allah-lah yang menguasai setiap kejadian. Sehingga kesabaran kita akan semakin meningkat.

Ibnu Mas’ud mengisahkan bahwa ketika beliau sedang salat bersama Rasulullah SAW di masjid, tiba-tiba Abu Jahal berkata: ”Kiranya ada seorang yang berani mengambil kotoran unta bani fulan lalu melemparkannya kepada Muhammad ketika sujud.”

Lalu bangkitlah Uqbah bin Abu Mu’ayath datang membawa kotoran dan melemparkannya ke Nabi SAW saat sujud. Tidak ada seorangpun yang membela Nabi SAW karena saat itu kaum muslimin dalam keadaan yang sangat lemah. Nabi SAW tetap dalam sujudnya sampai datang Fatimah ra, puteri beliau, kemudian melemparkan kotoran itu.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi membagi sabar dalam 6 kategori, yaitu : 1) sabar menerima ujian hidup (QS Al-Baqarah [2] : 155-157); 2) sabar dari keinginan hawa nafsu (QS Al-Munafiqun 9); 3) sabar dalam taat kepada Allah SWT (QS Maryam : 65); 4) sabar dalam berdakwah (QS Lukman : 17); 5) sabar dalam perang (QS.AL-Baqarah [2] : 177); 6) sabar dalam pergaulan (QS An-Nisa :19).

Lalu bagaimana cara untuk meraih kesabaran ? Para ulama memberikan beberapa kiat untuk meraih kesabaran, yaitu antara lain: Pertama, mengenali tabiat kehidupan dunia dengan segala kesulitannya. Penderitaan dan ujian adalah bagian dari tabiat dunia ini (QS An-Nahl [16] : 53). Kedua, mengenal balasan dan pahala sabar. Sabar pahalanya tanpa ada perhitungan (pahala tanpa batas) (QS.Az-Zumar [39] : 10).

Ketiga, percaya dan yakin bahwa setiap permasalahan ada solusinya, Allah SWT menjadikan setiap kesulitan, jalan keluar sebagai bentuk rahmat-Nya (QS Al-Insyirah [94] : 5-6). Keempat, meminta pertolongan kepada Allah dan kembali kepada perlindungan-Nya dengan bertawakal kepada-Nya (QS An-Nahl [16]: 42). Kelima, beriman dan menyakini takdir Allah SWT (QS Al-Hadid [57] : 22). Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita hati yang lapang dan kesabaran.

Syukur


Muhammad A Saefulloh - detikRamadan

Jakarta -"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS.Ibrahim [14] :7).

Syukur, secara etimologi berarti mengenal atau mengakui kebaikan. Syukur dapat pula berarti bertambah dan berkembang. Sedangkan secara syariat, syukur merupakan memperlihatkan tanda-tanda kenikmatan dari Allah atas hamba-Nya dengan mengimani Allah dalam hati, memuji-Nya dengan lisan dan membuktikannya dengan ibadah.

Syukur, pada hakikatnya rasa ungkapan terima kasih atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT lalu menggunakannya pada jalan yang diridhoi-Nya. Senada dengan hal itu, Ibnu Qayyim mengungkapkan bahwa pada hakikatnya yang disyukuri adalah kenikmatan, karena itu syukur hanya boleh diberikan kepada Zat yang memberi kenikmatan.

Syukur sangat erat kaitannya dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Pertama, bersyukur dengan hati. Bersyukur dengan hati berarti mengenal nikmat, menghadirkannya dalam hati membedakan dan meyakininya. Menghitung nikmat dan mengenalkannya adalah tahap awal untuk bersyukur, lalu menyadari betapa banyak nikmat yang Allah telah berikan dan ketidakmampuan kita untuk menghitungnya.

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.An-Nahl [16] :18).

Lalu ketika nikmat telah dikenal, maka kita akan sampai pada tingkat mengenal Zat pemberi nikmat secara mendalam. Kedua, bersyukur dengan lisan. Bersyukur dengan lisan adalah senantiasa memuji dan menyanjung Allah swt. Lisan merupakan media yang digunakan untuk mengungkapkan isi hati yang penuh dengan rasa syukur kepada Allah. Syukur dengan lisan adalah pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan.

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS.An-Nahl [16] : 53).

Orang yang bersyukur adalah orang yang lisannya selalu mengucapkan 'Alhamdulillah' dalam situasi bagaimana pun. Sebagaimana Nabi SAW memuji Allah dalam mengawali doa, selesai mengerjakan sesuatu, bangun dari tidur, dalam setiap khotbah, pernikahan, suatu urusan, selesai makan dan minum, saat bersin, dan sebagainya. Ketiga, bersyukur dengan anggota badan.

Syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan dilakukan dengan bersikap setia dan mengabdi kepada-Nya. Inti dari syukur dengan anggota badan adalah amal saleh. Nabi Daud AS suatu ketika pernah bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur kepada-Mu sedangkan tindakanku bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah SWT mewahyukan kepadanya, "Engkau baru saja bersyukur!”.

Di antara sarana yang membantu terwujudnya syukur dengan anggota badan sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis, “Setiap manusia pada pagi harinya dan setiap persendiannya ada sedekahnya.”

Lalu bagaimana seseorang menunaikan syukurnya 360 persendian? Yaitu bahwa setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf adalah sedekah dan menghilangkan suatu gangguan di jalan adalah sedekah.

Jumlah persendian sebanyak 360, jadi apabila seseorang dapat melakukan syukurnya, maka ia melewati harinya dengan selamat dari api neraka. Karena itu, hendaknya seseorang selalu bersyukur kepada Allah SWT dengan anggota tubuhnya melalui beragam jenis sedekah dan kebaikan. Wallahu a’lam.




Tawakal


Muhammad A Saefulloh - detikRamadan

Jakarta -“dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS Al-Maidah [5] : 23).

Secara etimologi, tawakal adalah mempercayakan, memasrahkan dan menyerahkan permasalahan kepada pihak lain. Tawakal menunjukkan adanya kelemahan dan ketergantungan kepada pihak lain.

Dalam Al Quran, kata tawakal berjumlah 42 dalam segala bentuk, tunggal atau jamak, berkonotasi memasrahkan diri, mempercayakan serta menyerahkan segala permasalahan kepada Allah SWT. Sedangkan secara istilah, Ibnu utsaimin memberikan definisi, tawakal adalah bentuk ketergantungan dan kepasrahan yang benar kepada Allah SWT, sebagai zat yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menepis marabahaya dengan senantiasa melakukan ikhtiar (usaha) sebagaimana yang diperintahkan-Nya.

Bertawakal bukan berarti tidak melakukan ikhtiar (usaha), tetapi lebih dari itu, tawakal berarti menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT sembari senantiasa melakukan ikhtiar. Ibnu Qayyim menjelaskan : rahasia dan hakikat tawakal adalah kepasrahan jiwa kepada Allah SWT, karena itu segala bentuk ikhtiar tidak akan ada manfaatnya, jika dilakukan tanpa kepasrahan kepada Allah.

Tawakal kepada Allah, menurut Syeikh Ibnu Taimiyah adalah upaya untuk mendatangkan manfaat dan menepis mudharat. Tawakal menurutnya mempunyai makna lebih luas dari mengharap pertolongan yang dikaitkan dengan amalan. Hakikat tawakal adalah ibadah dan isti’anah (meminta tolong kepada Allah).

Seperti difirmankan Allah, ”Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS.Hud [11] : 123).

Bisa juga dilihat dalam (QS Hud [11] :88; Ar-Ra’d [13] :30; Al-Muzammil [73] : 9; Asy-Syura [42] : 10). Jika seseorang bertawakal kepada Allah SWT, Allah akan mencukupkan dirinya dan cukuplah Allah baginya, cukup baginya berarti Allah-lah yang mencukupi (segala sesuatu) bagi dirinya, mencegah datangnya keburukan, mencukupkan yang menjadi keinginan dan menjaganya dari musuh.

Syekh Abu Nashr as-sarraj membagi orang-orang yang bertawakal kedalam 3 tingkatan, yaitu pertama, tawakalnya mukmin, cirinya yaitu melemparkan diri dalam penghambaan, ketergantungan hati dengan Allah dan tenang dengan kecukupan. Jika diberi ia akan bersyukur, jika tidak diberi tetap bersabar dan rela dengan takdir yang telah ditentukan.

Kedua, tawakalnya orang yang khusus, yaitu bertawakal kepada Allah bukan karena Allah, maka sebenarnya ia belum bertawakal kepada Allah sampai ia bertawakal kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah. Ia hanya akan bertawakl kepada Allah dalam tawakalnya, bukan karena faktor atau sebab lain.

Ketiga, tawakalnya orang kelas paling khusus (khusshulkhusus), yaitu tawakalnya adalah bergantungnya hati kepada Allah SWT.

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum kita tawakal, yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah) dan sifat-sifatnya, melakukan ikhtiar sebagai bagian dari sebab, merealisasikan ajaran tauhid, bergantung kepada Allah, berbaik sangka kepada Allah, menyerahkan hati kepada Allah, dan memasrahkan diri.

Tawakal kepada Allah berarti menggabungkan ilmu hati dan amalan hati. Mengetahui bahwa Allah-lah yang mengdirkan segala sesuatu dan yang mengatur semuanya merupakan ilmu hati. Sedangkan amalan hati hanya bisa dilakukan dengan tenangnya hati kepada Allah, bersandar dan percaya kepada-Nya.

Banyak manfaat dari tawakal kepada Allah SWT, di antaranya yaitu menang melawan musuh (QS.Ali Imran [3] : 173-174 dan QS.Al-Ahzab [33] : 22), mendatangkan kemaslahatan dan menepis kemudharatan serta mendatangkan rezeki dan mempercepat kesembuhan, menguatkan dan memotivasi jiwa, menjaga jiwa dari keterpurukan dan gangguan syaraf, menjauhkan manusia dari putus asa dan frustasi serta dari melakukan bunuh diri.

Jiwa, harta, anak dan keluarga senantiasa terjaga (QS.Yusuf [12] : 67), menumbuhkan semangat dalam hati untuk beramal, membangun mentalitas yang tegar dan mulia (QS.Ali Imran [3] : 173-174), membuka pintu rezeki, mewujudkan kesuksesan, selalu bersama Allah, mendatangkan cinta Allah kepada hamba-Nya, memasukkan pelakunya kedalam surga tanpa hisab, tawakal adalah kehormatan, izzah dan kekayaan.

Qanaah

Qanaah

Muhammad A Saefulloh - detikRamadan

Jakarta -Hidup mulia dalam pandangan Allah SWT sejatinya dapat dicapai dengan mengedepankan sikap qanaah. Mereka yang bersikap qanaah akan selalu merasa cukup dan ridha atas pemberian Allah SWT. Ini perwujudan rasa syukur yang hakiki.

Dalam realitas kehidupan saat ini yang hedonistik, kebanyakan orang akan merasa sulit bersikap qanaah. Sebab, keberhasilan hidup hanya dilihat dari sudut pandang sempit, bertolok ukur dari sekadar atribut duniawi, seperti kekayaan harta, pangkat dan jabatan.

Bagi yang tak bersikap qanaah, niscaya pikirannya hanya dipenuhi angan-angan tinggi yang melalaikan. Selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga muncul sikap serakah. Juga dibarengi rasa dengki atas karunia Allah SWT kepada orang lain.

Tak jarang pula untuk mewujudkan keinginannya, seseorang melakukan tindakan menyimpang dari jalan–Nya. Akibatnya, keinginan yang diraih, tak memberikan keberkahan hidup. Sebaliknya, itu akan mengakibatkan seseorang jatuh dalam kehinaan dan kesengsaraan hidup.

“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yunus 10: 107).

Ayat di atas merupakan jaminan Allah SWT atas karunia-Nya yang akan memberikan ketentraman hati. Tidak perlu ada kecemasan dan kekhawatiran, sehingga sikap qanaah akan selalu melekat kuat.

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam hadis itu, Rasullah SAW amat menekankan agar dalam urusan duniawi, kita melihat kepada orang yang lebih rendah. Jangan melihat yang lebih tinggi.

Ini akan memberikan kesadaran bahwa karunia nikmat Allah SWT telah banyak diberikan agar umat senantiasa bersyukur kepada Nya, pantang berkeluh kesah maupun pantang berputus asa menjalani kehidupan. Sikap qanaah hendaknya tak diartikan pasif dan pasrah secara total dalam menyikapi keadaan yang dihadapi.

“Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin sesungguhnya dia telah beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat.” ( HR Dailami ).

Rasulullah SAW telah memberikan dorongan dan motivasi untuk meraih kemajuan, tapi masih dalam bingkai qanaah. Selalu bersikap optimistis dalam menghadapi kehidupan dengan ikhtiar dan bertawakal kepada-Nya merupakan jalan terbaik.

*) Muhammad A.Saefulloh, MA adalah asatidz Majelis Azzikra dan Kepala Madrasah Aliyah YAPINA alternatif Islamic Schools Bojongsari Sawangan, Depok, Jawa Barat.

(sumber: bukitazzikrasentul.com)

Kamis, 17 September 2009

Proses Pembuangan Racun Selama Puasa

Jakarta, Puasa ramadan sering diartikan waktunya istirahat buat tubuh karena organ-organ tubuh bekerja lebih ringan. Jika puasa dilakukan dengan benar proses pembuangan racun dalam tubuh atau detoksifikasi tubuh akan berjalan sempurna.

Detoksifikasi adalah upaya untuk membersihkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh. Sebenarnya setiap hari tubuh sudah melakukan detoksifikasi seperti buang air kecil, buang air besar atau melalui keringat.

"Upaya detoksifikasi selama puasa sebenarnya bukan dari makanan yang di makan tapi proses untuk mengisitirahatkan tubuh sejenak dari beban-beban yang berat di luar bulan puasa," kata Dr Kasim Rasjidi, SpPD-KKV, DTM&H, MCTM, MHA, SpJP, FIHA ketika dihubungi detikHealth, Selasa (25/8/2009).

Banyak manfaat yang bisa diambil dengan berpuasa yaitu proses detoksifikasi tubuh dari segala racun, mengurangi berat badan, memurnikan kerja otak, terlihat lebih muda, dan bisa melatih kesabaran seseorang.

Dr Kasim menceritakan bagaimana proses detoksifikasi yang terjadi selama puasa:

1. Ketika buka puasa, makanlah kurma atau buah, bukan kolak karena proses penyerapan kolak sulit dicerna tubuh. Sementara kurma dan buah mengandung jenis gula yang sederhana, gampang diserap, mengandung elektrolit dan mineral lain.

Jika berbuka puasa dengan kurma atau buah lalu dilanjutkan dengan minum air putih beban pencernaan akan berkurang. Proses detoksifikasi mulai berjalan karena kita tidak memberikan beban yang berat ke pencernaan ketika berbuka puasa.

2. Ketika berpuasa orang akan memperbanyak ibadahnya, sebaliknya keinginan makan justru agak direm karena kesibukan beribadah. Tradisi makan besar yang biasanya dilakukan di luar bulan puasa akan berubah saat puasa. Kondisi ini tentunya akan membuat sistem pencernaan mendapat diskon dari beban kerja yang berat.

"Kalau ada yang buka puasa dan makan seperti hari biasa kemudian dia salat Isya tiba-tiba bersendawa malah mengucapkan Alhamdulillah sebenarnya dia melakukan pola makan yang keliru. Pola makan yang tidak berlebihan tidak akan membuat orang bersendawa berlebihan hingga mengeluarkan bunyi yang keras," kata Dr Kasim yang merupakan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di RS Asri Jakarta.

Begitu juga ketika sahur dengan porsi makan yang lebih sedikit dan gerak tubuh selama beribadah yang lebih banyak akan membuat tubuh lebih ringan.

Keinginan makan yang lebih sedikit, terlebih bisa mengurangi makan-makanan manis yang tidak alami selama puasa akan direspons positif oleh tubuh.

Racun yang dibuang akan lebih sedikit sehingga ginjal, liver dan sistem pencernaan tidak mendapat beban kerja yang berat. Sementara aktivitas jantung juga akan santai karena ibadah yang dilakukan membuat ketenangan.

"Jadi kalau puasa dikerjakan dengan benar denyut jantung akan bagus, proses pelepasan insulin berjalan baik dan gula darah akan lebih terkontrol, itu sebenarnya proses detoksifikasi yang terjadi," imbuh Dr Kasim.

Dia juga mengingatkan untuk lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayuran karena kandungan buah sama seperti kandungan tubuh yang 70-80 persennya berupa air.

Jadi detoksifikasi tubuh selama puasa adalah mengurangi beban kerja organ tubuh dengan pola makan yang tidak berlebihan. Jangan sampai bulan puasa malah dijadikan kesempatan untuk konsumtif dengan belanja makanan-makanan enak.