Dipublikasikan pada Rabu, 05/02/2014 16:22 |
Ust. Prof. DR. HABIB AHMAD AL KAFF, MA
Yang paling berhak menjadi imam
shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya,
yang mengetahui hukum-hukum shalat. Kalau kemampuannya setara, maka dipilih
yang paling dalam ilmu fiqhnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka
dipilih yang paling dulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka
dipilih yang lebih dulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits berikut,
Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiallahu Anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam telah bersabda,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا
فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ
فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ
سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي
الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا
وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا
يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى
تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Dari Abu mas’ud Uqbah bin Amru Al Anshari Radhiallahu Anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Yang mengimami sebuah
kaum adalah orang yang paling bisa membaca (aqra’) Al Qur’an. Jika mereka sama
dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang mengimami adalah orang yang lebih tahu
tentang as sunah. Jika mereka sama dalam hal as sunah, maka yang mengimami
adalah orang yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka
hendaklah yang mengimami adalah yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah
seorang (tamu) mengimami orang lain (tuan rumah dll) yang berkuasa (di rumahnya, di masjidnya, di
majlisnya dll-edt), dan janganlah seorang (tamu) duduk di kursi yang
dikhususkan untuk tuan rumah kecuali bila tuan rumah mengizinkannya”. (HR.
Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqu Bil Imamah)
Dalam lafazh yang lain,
فَإِنْ
كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا
“ …Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka hendaklah yang
mengimami adalah yang lebih tua usianya”. (HR. Muslim)
عن عطاء قال : يؤم
القوم أفقههم
Dari ‘Atha’ berkata: “Hendaklah yang mengimami sebuah kaum
adalah orang yang paling faqih”. [Mushonnaf Ibni Abi Syaibah]
Berdasar beberapa hadits ini, para ulama menyebutkan urutan
orang yang lebih berhak menjadi imam shalat adalah sebagai berikut:
1. Al Aqra’ Bil
Quran
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari Al Aqra’ bil
Qur’an, apakah orang yang lebih banyak hafalannya ataukah orang yang lebih
bagus bacaannya.
Pendapat yang menyatakan bahwa orang yang hafal ayat-ayat Al
Qur’an lebih banyak, didahulukan atas orang lain, sekalipun atas orang yang
lebih bagus bacaannya merupakan pendapat imam Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauri,
Ishaq bin rahawaih, Abu Yusuf dan Ibnu Mundzir. Pendapat ini juga diikuti oleh
sebagian ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Di antara ulama kontemporer yang
berpegang dengan pendapat ini adalah syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin.
Pendapat ini berdasarkan hadits ’Amr bin Salamah
Radhiallaahu Anhu,
عَنْ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ
قَالَ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ
فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا. فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ
أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ
أَتَلَقَّى مِنَ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ
أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Dari Amru bin Salamah bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda, ”Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang kalian
mengumandangkan adzan dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang
paling banyak hafalan Al Qur’annya.
Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak
ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan aku, karena
sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku pun memajukan aku
di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal saat itu usiaku masih enam
atau tujuh tahun”. (HR. Bukhari Kitab Al Maghazi, Abu Dawud Kitab As Shalah. An
Nasa’i Kitab Al-Adzan. Ahmad)
Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu
Anhu,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- إِذَا
كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Jika
kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan shalat berjama’ah) maka
hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’)
menjadi imam”. (HR. Muslim)
Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah yang paling
bagus tajwid-nya dan paling bagus mutu bacaannya (أجودهم وأحسنهم
وأتقنهم قراءة). Ini adalah pendapat
madzhab Maliki, sebagian besar madzhab Syafi’i dan banyak ulama madzhab
Hanbali. Namun pendapat pertama lah yang lebih kuat berdasarkan kedua hadits di
atas.
Akan tetapi jika mereka sama dalam hafalan Al-Qur’annya
dimana seluruh orang yang shalat atau orang yang akan dimajukan sebagai imam
telah hafal Al-Qur’an, baru dipilih mana yang paling mantap (كان أتقنهم قراءة
وأضبط لها) dan bagus bacaannya.
Karena itulah arti yang paling bagus Al-Qur’annya bagi mereka semua yang dalam
hafalan sama. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah,
dan Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani)
Berbeda lagi bagi mereka yang memahaminya secara makna
‘tersirat’. Maka ‘Al-Aqra’ pada hadits mengindikasikan mereka yag faham fiqih.
Dan ini yang dilakukan oleh Imam Malik dan Syafi’i.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat
tersebut, karena pada dasarnya, dulunya mereka yang bagus bacaan Al-Qur’annya
itu adalah mereka paling faham fiqihnya, pun begitu sebaliknya, mereka yang
bagus fiqihnya bagus juga bacaan dan hafalan Al-Qur’annya.
Akan tetapi sekarang kita lebih membutuhkan yang mana?
Melihat bahwa kenyataannya mereka yang bagus serta punya banyak hafalan
Al-Qurannya tidak selamanya mereka juga faham fiqih, pun begitu sebaliknya
sekarang ini, mereka yang faham fiqih tidak selamanya punya bacaan bagus dan
banyak hafalannya.
Pilih mana? Yang bagus bacaan dan banyak hafalan
Al-Qur’annya, atau yang paling faham tentang urusan fiqih? Yang jelas mereka
yang mempunyai keduanya sangat kita tunggu kehadirannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu mengatakan,
”ولا يخفى أن محل
تقديم الأقرأ إنما هو
حيث يكون عارفًا بما
يتعين معرفته من أحوال
الصلاة، فأما إذا كان
جاهلاً بذلك فلا يقدم
اتفاقاً“
“Sudah jelas bahwa dikedepankannya orang-orang yang paling
pandai bacaan Al-Qur’annya berarti ia juga orang yang paling mengerti kondisi
shalatnya sendiri. Namun kalau ternyata tidak mengerti kondisi shalatnya,
secara mufakat dikatakan bahwa ia tidak berhak dikedepankan”. [Fathul-Bari)
(Lihat Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’, dan Asy-Syarhul-Mumti’ oleh
Ibnu ’Utsaimin)
2. Orang Yang
Lebih Mengerti Tentang Sunnah
Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang lebih hafal Al
Qur’an (aqra’ li kitabillah) dan orang yang lebih paham as sunah (afqah) lebih
berhak menjadi imam, melebihi orang-orang lain. Apabila terjadi, ada beberapa
orang yang sama bagus dalam hafalan dan bacaan Al Qur’annya, maka dilihat
pemahamannya tentang sunnah diantara mereka. Maka dalam hal ini, orang yang
lebih paham dan mengetahui tentang sunnah hendaknya lebih diutamakan
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنْ كَانُوا فِى
الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ
.
“Jika mereka sama dalam hal bacaan Al Qur’an, maka yang
mengimami adalah orang yang lebih tahu tentang as sunah”.
3. Orang Yang
Lebih Dahulu Berhijrah Dari Negeri Kafir Ke Negeri Islam
Hijrah dalam hal ini, tidak hanya dibatasi dengan hijrah
yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun juga
berlaku bagi hijrahnya seseorang yang berhijrah dalam rangka ketaatan untuk
menyelamatkan agamanya dari negeri kafir ke negeri Islam.
4. Orang Yang
Lebih Dahulu Masuk Islam
Hal ini terjadi jika ketiga urutan di atas masih sepadan.
Kemudian dilihat siapa yang lebih dahulu masuk Islam jika sebelumnya dia bukan
pemeluk agama Islam.
5. Orang Yang
Lebih Tua Usianya
Jika keempat syarat di atas masih juga seimbang maka yang
terakhir adalah mempertimbangkan faktor usia berdasarkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam,
فإن كانوا في الهجرة
سواءً فأقدمهم سلماً – وفي
رواية – سنّاً . Dalam riwayat lain
disebutkan dengan kata سنّاً
yaitu usianya bukan dengan lafadz سلماً
(Islam).
Kemudian sekiranya terjadi keseimbangan dan kesamaan dalam
hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka yang dilakukan adalah dengan
mengundi. Siapa yang menang dalam undian tersebut maka hendaknya dia menjadi
imam.
Perlu Kita Renungkan
Sementara di sebagian masyarakat kita, bila imam utama
berhalangan dan akan ditunjuk imam pengganti, biasanya akan ditunjuk orang yang
paling tua karena dianggap yang paling mengetahui dan mumpuni soal agama
meskipun dari sisi bacaan terkadang tidak betul dan kurang berhati-hati.
Panjang pendek tidak terkontrol, kapan berhenti dan kapan disambung tidak
dipedulikan, bahkan membacanya dengan tergesa-gesa pun tidak menjadi soal.
Bahkan yang lebih ironis adalah bila dipilih karena derajat, kedudukan maupun
status sosial di masyarakat. Entah itu karena dia menjadi dukuh atau ditokohkan
di masyarakat termasuk hanya karena sudah berhaji.
Padahal menurut hadits di atas bahwa orang yang mempunyai
bacaan bagus harus lebih diutamakan, tidak perlu memandang apakah dia masih
muda atau sudah tua, berhaji atau belum. Karena berhaji tidak bisa diqiyaskan
dengan berhijrah. Sehingga tidak dibenarkan bila ada yang berucap “Pak Haji
saja yang sudah genap rukun islamnya…”. Tetap urutan yang digunakan adalah
sesuai hadits tersebut di muka.
Kemudian, juga jangan menjadi imam bila kita sedang berada
di luar wilayah kita (kita sebagai tamu) tanpa seijin tuan rumah. Boleh jadi
bacaan kita lebih baik, namun hak utama menjadi imam adalah sang tuan rumah.
Kecuali kalau memang diijinkan oleh tuan rumah maka tidaklah mengapa kita
menjadi imam. Berdasarkan hadits berikut,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأنْصَارِيِّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال:
قال رَسُولُ الله صَلَّى
اللَه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلا
يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى
تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ (رواه
مسلم)
Dari Abu Mas’ud Al Anshary Radhiallahu Anhu, Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Seseorang tidak boleh menjadi imam di
dalam keluarga seseorang atau didalam kekuasanya dan tidak boleh duduk di
majlisnya kecuali dengan seizinnya”. (HR Muslim)
Cara di atas adalah cara memilih imam (tetap) yang baik dan
benar secara syari’at, namun bila telah terpilih imam tetap di daerahnya, maka
urutannya sebagai berikut:
Imam tetap suatu masjid
Tuan rumah (misal shalat jamaah di rumah karena ada udzur,
karena pemilik rumah lebih utama daripada tamu, meski tamu lebih bagus
bacaannya)
Yang bacaannya paling baik
Yang paling mengerti sunnah
Yang lebih dahulu hijrah
Yang lebih dahulu masuk islam
Yang lebih tua.
Oleh karena itu sebaiknya seorang takmir masjid, dan sang
calon imam mengetahui hal ini karena dalam islam kualitas lebih didahulukan
daripada usia.
Siapa Yang Sah Menjadi Imam
Semua orang yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau
sah menjadi imam shalat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian
orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi imam, diantaranya:
Anak Kecil Yang Mumayyiz
Batas jenjang usia anak yang telah mencapai usia tamyiz
disebut mumayyiz. Diantara ciri anak yang mumayyiz: dia bisa membedakan antara
yang baik dan yang tidak baik, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup
aurat, dia mengerti shalat harus serius, dan sebagainya yang menunjukkan fungsi
akalnya normal. Umumnya, seorang anak menjadi mumayiz ketika berusia 7 tahun.
Sedangkan batas baligh adalah batas dimana seorang anak
telah dianggap dewasa oleh syariat, dan berkewajiban untuk melaksanakan beban
syariat. Tidak ada batas usia baku untuk baligh, karena batas baligh kembali
pada ciri fisik. Untuk laki-laki: telah mimpi basah, dan untuk wanita: telah mengalami
haid. Untuk laki-laki, umumnya di usia 15 tahun. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah)
Bagaimana hukum anak mumayyiz menjadi imam shalat jamaah,
sementara makmumnya orang yang sudah baligh.
Para ulama membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah.
Berikut rincian yang disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,
Mayoritas ulama (hanafiyah, malikiyah, dan hambali)
berpendapat bahwa diantara syarat sah menjadi imam untuk shalat wajib, imam
harus sudah baligh. Karena itu, anak mumayiz tidak bisa menjadi imam bagi
makmumyang sudah baligh.
Untuk shalat sunah, seperti shalat taraweh, atau shalat
gerhana, mayoritas ulama (Malikiyah, Syafiiyah, hambali, dan sebagian
hanafiyah) membolehkan seorang anak mumayiz untuk menjadi imam bagi orang yang
sudah baligh.
Pendapat yang kuat dalam madzhab hanafiyah, anak mumayiz
tidak boleh jadi imam bagi orang baligh secara mutlak, baik dalam shalat wajib
maupun shalat sunah.
Sementara Syafi’iyah berpendapat, anak mumayiz boleh menjadi
imam bagi orang baligh, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah. Terutama
ketika anak mumayyiz ini lebih banyak hafalan Al-Qurannya, dan lebih bagus
gerakan shalatnya dibandingkan jamaahnya yang sudah baligh.
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ
ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ
أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا
الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ
الْفَرَائِض
Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz) yang menjadi imam
merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan Ishaq bin Rahuyah. Sementara
Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat keterangan
dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu
Hanifah dan Imam Ahmad), anak kecil sah jadi imam untuk shalat sunah dan bukan
shalat wajib. (Fathul Bari)
Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hal ini adalah
pendapat Imam As-Syafii, bahwa tidak dipersyaratkan imam shalat harus sudah
baligh. Anak kecil yang sudah tamyiz, memahami cara shalat yang benar, bisa
jadi imam bagi makmum yang sudah baligh. Dalil mengenai hal ini adalah hadis
dari Amr bin Salamah Radhiallahu Anhuma di atas.
Orang Buta
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang
melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal ini berdasarkan pada hadits
Mahmud bin Ar-Rabi’:
“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik dahulu mengimami shalat
kaumnya”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan pernyataan ‘Aisyah Radhiallahu Anhu, “Ibnu Umi Maktum
dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah mengimami shalat penduduknya”. (HR.
Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, bahwa
hadits ini shahih li ghoirihi).
Bahkan setelah dihitung-hitung tugas keimaman Ibnu Ummi
Maktum telah mecapai tiga belas kali. Itu menjadi dalil-dalil sahnya keimamn
orang buta tanpa ada nilai kemakruhan.
Keimaman Orang Yang Tayamum
Orang yang bertayamum sah menjadi imam bagi orang yang
wudhu, karena Amr bin Al Ash pernah shalat dengan anak buahnya dalam keadaan
tayamum, sedangkan anak buahnya dalam keadaan wudhu. Hal tersebut dilaporkan
kepada Rasulullah, namun beliau tidak memungkirinya. (Diriwayatkan Abu Dawud,
hadits shahih)
Keimaman Musafir Dan Muqim Menjadi Makmum
Musafir sah menjadi imam. Hanya saja jika orang mukim
(penduduk setempat) shalat di belakang musafir, ia harus menyempurnakan
shalatnya setelah imam musafir tersebut, sebab Rasulullah shalat bersama
orang-orang Mekkah sebagai seorang musafir dan bersabda kepada mereka, ”Hai
orang-orang Mekkah, sempurnakan shalat kalian, karena kita orang-orang
musafir”. (HR. Malik)
Jika seorang musafir shalat di belakang orang mukim, ia
sempurnakan shalat bersamanya, karena Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma pernah
ditanya tentang menyempurnakan shalat di belakang orang mukim, maka ia
menjawab, ”Itu sunnah Abu Al Qasim (Rasulullah)”. (Diriwayatkan Ahmad dan asalnya
ada shahih Muslim)
Keimaman Orang Yang di Bawah Standar
Orang di bawah standar sah menjadi imam kendati orang yang
memiliki standar keimanan ada di tempat, karena Rasulullah saw pernah shalat di
belakang Abu Bakar, dan Abdurrahman bin Auf, padahal beliau lebih mulia
daripada keduanya, bahkan dari semua manusia”. (Diriwayatkan Al Bukhari)
Orang Yang Shalat Wajib Tetapi Bermakmum Kepada Orang Yang
Shalat Sunnah Begitu Juga Sebaliknya
Shalat Sunnah dibelakang Imam Shalat Wajib
Hadits Yazid bin Al-Aswad yang menyebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sedang dalam hajinya. Dan pada waktu
subuh Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta para sahabat melaksanakan
shalat Subuh di Masjid Khaif. Setelah melakukan shalat, Nabi melihat ada dua
orang yang hanya berdiri di depan masjid tanpa mengikuti shalat berjamaah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar 2
orang tadi dihadapkan kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setelah
menghadap Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya: “Apa yang menyebabkan
kalian tidak ikut berjamaah dengan kami?”. Salah satu dari 2 orang itu
menjawab: “Kami telah melaksanakan shalat dirumah kami, wahai Rasul!”.
Kemudian Rasul
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab,
فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي
رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ
جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَة
“Jangan kau seperti itu lagi! Jika kalian telah shalat
dirumah kalian masing-masing kemudian kalian mendatangi masjid dan melihat ada
shalat Jamaah, shalatlah kalian bersama mereka!” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa shalat yang
dilakukan itu ialah bukan shalat wajib karena telah dilakukan sebelumnya, akan
tetapi itu menjadi shalat sunnah. Dan rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan agar mereka ikut kembali shalat berjamaah, itu berarti boleh
shalat Sunnah dibelakang Imam yang shalat fardhu.
Shalat Wajib dibelakang Imam Shalat Sunnah
Hadits Abu Bakrah Radhiallahu Anha tentang salah satu cara
lain shalat Khauf yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan shalat zuhur dalam keadaan
khauf (peperangan), kemudian para sahabat membagi barisan menjadi 2 kelompok.
Satu kelompok shalat bersama Rasul dan yang lain berjaga-jaga.
Nabi melaksanakan shalat bersama Kelompok pertama sebanyak 2
rakaat kemudian salam. Lalu masuklah kelompok yang tadi berjaga-jaga untuk
shalat bersama Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam. Berjamaah 2 rakaat kemudian
salam. (HR. Abu Dawud)
Imam Syafi’i dalam Kitabnya Al-Umm menyebutkan bahwa: 2
rakaat terakhir Nabi adalah sunnah dan yang pertama wajib. Jadi kelompok kedua
yang shalat bersama Nabi itu shalat wajib sedangkan Imam mereka yakni Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam melaksanakan Shalat Sunnah. (Al-Umm)
Kesimpulannya, bahwa perbedaan niat antara Imam dan makmum
tidak membuat shalatnya terganggu atau batal, baik Imam ataupu makmum sah-sah
saja shalat dengan niat yang berbeda. Jadi tidak ada masalah jika kita shalat
fardhu tetapi bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, seperti shalat
isya bermakmum dengan Imam tarawih. Atau juga sebaliknya, shalat Sunnah tetapi
bermakmum kepda Imam shalat Fardhu.
Sahnya Shalat Orang Yang Shalat Berdiri Bermakmum Kepada
Imam Yang Shalat Sambil Duduk
Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya orang yang
shalat berdiri bermakmum kepada imam yang shalat sambil duduk. Sebagian
berpendapat boleh dan sebagian berpendapat tidak boleh.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata,
Secara global para ulama berpendapat bahwa semua orang sehat
tidak boleh melaksanakan shalat fardhu sambil duduk, baik sendirian maupun
sebagai imam jamaah. Pendirian ini berdasarkan firman Allah,
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) dengan patuh
(khusyuk)”. (Al-Baqarah: 238)
Kalangan ulama berbeda pendirian mengenai makmum yang sehat
di belakang imam yang shalat duduk lantaran sakit. Perbedaan ini terbagi
menjadi 3 kelompok:
Makmum boleh shalat duduk di belakang imam yang shalat duduk
karena sakit. Pendapat ini dipegangi oleh Ahmad dan Ishak.
Makmum shalat berdiri di belakang imam yang shalat duduk itu
boleh. Ibnu Abdil Barr mengemukakan bahwa pendirian ini menjadi pedoman para
fuqaha Anshor, diantaranya Syafi’I dan pengikutnya, Ahli Zhahir, Abu Tsaur, dan
lain-lain.Mereka juga memberikan tambahan bahwa makmum yang shalat berdiri
kendati imam shalat dengan duduk, bahkan tidak kuasa rukuk atau sujud, atau
hanya bias melakukan dengan isyarat, itu boleh.
Imam tidak boleh shalat dengan duduk. Ini pendirian dari
Ibnu Qasim. Makmum yang sehat di belakang imam yang shalat duduk, baik makmum
itu shalat berdiri atau duduk, shalatnya batal (tidak sah). Diriwayatkan dari
Malik bahwa makmum hendaknya mengulangi shalat pada waktu yang bersangkutan.
Karena shalat seperti itu bagi makmum makruh, bukan haram.
Dari ketiga pendirian itu, pendapat pertama adalah yang
paling dikenal. Penyebab timbulnya silang pendapat ini adalah karena ada
bermacam-macam hadits mengenai hal tersebut, diantaranya adalah;
Pertama, hadits riwayat Anas Radhiallahu Anhu, yaitu:
Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Apabila imam
shalat sambil duduk hendaklah (juga) shalat dengan duduk”. (HR. Abu Dawud)
Hadits yang hampir sama dari Aisyah Radhiallahu Anha,
“Bahwa beliau Shallallaahu Alaihi Wasallam shalat dalam
keadaan sakit sambil duduk, dan di belakang beliau shalat pula (sebagai makmum)
suatu kaum sambil berdiri. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
memberi isyarat kepada mereka agar duduk. Seusai shalat beliau mengatakan,
‘Bahwa dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti, sehingga apabila imam ruku’,
maka ruku’lah kalian, adan apabila imam bangkit, maka bangkitlah kalian. Dan
apabila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian juga dengan duduk”.
(HR. Ahmad)
Kedua, dari Aisyah Radhiallahu Anha,
Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar rumah
pada waktu beliau menderita yang mengantarkan pada wafatnya. Lalu beliau
mendatangi masjid, dan beliau bertemu Abu Bakar sedang shalat sambil berdiri
(sebagai imam) bersama khalayak. Kemudian Abu Bakar mundur, lalu Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat padanya agar seperti yang ada
(tidak berubah). Lalu Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam duduk di sebelah
Abu Bakar, maka Abu Bakar mengikuti shalat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan khalayak mengikuti shalat Abu Bakar”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata,
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa makmum harus mengikuti
cara imam dalam shalatnya, yaitu bila imam mengerjakannya sambil duduk maka
makmum pun harus mengerjakannya sambil duduk, walaupun saat itu makmum sedang
tidak ada udzur untuk melakukannya dengan duduk. Sedangkan, golongan yang
berbeda pendapat dengan mereka menjawab hadits di atas dengan berbagai jawaban,
diantaranya: Bahwa hukumnya itu sudah dihapus, karena ketika Nabi Shallallaahu
Alaihi Wasallam sakit (yang akhirnya wafat) shalat mengimami orang-orang sambil
duduk sedangkan mereka berdiri. Namun Imam Ahmad mengingkari penghapusan hukum
ini, kemudian menggabungkan antara kedua hadits tersebut dengan dua kesimpulan;
Pertama, bila imam yang biasanya (yakni imam rawatib)
mengawali shalatnya sambil duduk karena sakit yang memungkinkan sembuhnya, maka
para makmum pun shalat di belakangnya sambil duduk. Kedua, Bila imam yang
biasanya mengawali shalatnya sambil berdiri, maka para makmum yang shalat di
belakangnya pun harus shalat sambil berdiri, baik dalam melanjutkan shalatnya
itu imam melakukannya sambil berdiri maupun sambil duduk. Penggabungan kedua
hadits ini telah menguatkan, bahwa tidak ada penghapusan hukum (sebagaimana
yang diungkapkan oleh sebagian orang). [Nailul Authar]
Wallahu Ta’ala A’lam
Disampaikan pada
kajian Sabtu malam, 4 Januari 2014.
(shl/darussalam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar